Senin, 02 Februari 2009

Permata

Suara tangis...
Kudengar suara tangis seseorang dari dalam. Aku yang saat itu sedang menonton putaran siaran langsung sepak bola Liga Inggris, menjadi tergerak juga untuk mencari dimana sumbernya berada.

Aku bangkit dari
depan tv. Kuperiksa kamar utama yang menjadi tempat tidurku bersama istri. Tidak ada. Langsung aku menuju ke kamar anak kami satu- satunya, Permata.

Benar saja, suara tangis itu berasal dari dalam
kamarnya. Suara isak tangisan Permata sepertinya ditahan-tahan supaya tidak terlalu didengar oleh orang lain. Namun tetap saja dapat didengar terutama olehku yang berada di ruang tv, yang tidak berada jauh dari kamarnya. "Salam'alaikum sayang…, sedang apa di dalam? Boleh Ayah masuk?" kataku sambil mengetuk pelan pintu kamarnya.

Tiba-tiba, suara tangisannya menghilang. "Sayang…, ini Ayah. Bolehkan Ayah masuk?" Pintu-pun terbuka dengan Permata, anak semata wayangku, di depanku. Wajahnya memerah dengan mata sembab dan berkaca-kaca. Rambutnya yang hitam panjang sebahu tampak awut-awutan. Bajunya yang berwarna merah jambu dengan gambar bunga-bunga kecil, basah oleh air mata dan keringatnya. "Loh kok…, kenapa putri Ayah menangis? Biasanya putri Ayah selalu ceria. Ada apa gerangan? Boleh Ayah tahu ada apa?" kataku yang langsung berjongkok di depan Permata sambil memegang bahunya dan menyeka air matanya. Belum lagi Permata menjawab pertanyaanku. Ia langsung saja menabrakku dengan pelukannya, lalu menangis kembali dan berkata, "Ibu jahat, Ayah. Ibu jahat!" "Loh…, kenapa Ibu jahat? Masa sih, Ibu jahat sama Permata yang cantik dan baik hati," kataku sambil mengangkat dan menggendongnya lalu menuju ke tempat tidurnya.

Kuletakkan ia di kasur dan aku duduk di
sampingnya. Ku elus-elus rambutnya yang halus seperti sutra. Kupancarkan senyuman kepadanya untuk mencoba meredakan tangisannya. Sedikit demi sedikit tangisannya mulai mereda dan akhirnya berhenti. Wajah Permata memancarkan rasa sedih karena ia barusan dimarahi sama Ibunya, yaitu istriku.

Sebenarnya aku-pun agak heran juga, tidak
biasanya istriku marah terhadap anak semata wayangnya ini. Biasanya ia sangat lembut dan penuh kasih sayang didalam mengurus Permata. "Ayah… Ibu kok jahat sama Permata? Tadi Permata dimarahi sama Ibu. Permata sedih, Ayah. Kenapa Ibu sampai memarahi Permata seperti tadi, Ayah?" kata Permata sambil mau menangis kembali. "Eee…, kok mau nangis lagi… Enggak apa-apa kok, Ibu tidak jahat dan tidak marah sama Permata. Memangnya, kenapa Ibu sampai demikian sama Permata?" Permata diam sebentar. "Tadi Permata belum mengerjakan salat lalu ditegur sama Ibu. Namun, Permata belum juga mengerjakan salat karena Permata masih mau menyelesaikan PR Permata dulu, Ayah. Lalu Ibu datang kembali dan menanyakan apakah Permata sudah salat. Setelah Ibu tahu bahwa Permata belum salat juga, lalu Ibu memarahi Permata. Permata hanya diam pas dimarahi sama Ibu. Setelah Ibu pergi, Permata jadi sedih, mengapa Ibu yang biasanya baik sama Permata tapi kali ini kok tidak. Permata jadi sangat sedih, Ayah." "Ooo…, begitu. Nah, sekarang Permata sudah salat belum?" Permata mengangguk. "Bagus…, itu baru namanya anak Ayah dan Ibu yang cantik dan pintar.

Permata tahu nggak, kenapa Ibu sampai marah sama Permata karena Permata melalaikan salat. Itu berarti…, Ibu sayang sama Permata. Ayah dan Ibu memang sangat senang bila anak Ayah dan Ibu rajin didalam mengerjakan salat. Ayah dan Ibu tidak mau Permata masuk Neraka dan disiksa sama Allah SWT, nanti di Akhirat. Permata tahu kan, bila ada orang yang tidak mengerjakan salat maka ia akan disiksa dan dimasukkan oleh Allah SWT, ke dalam Neraka Jahannam selama-lamanya. Iiiiihhh…, ngeri kan," kataku menggeliat dan memasang wajah takut sambil bercanda.

Permata pun tersenyum.
"Ok…, sekarang Permata harus janji…, untuk tidak melalaikan salat lima waktu lagi, bagaimana?" "Iya, Ayah. Permata janji tidak akan melalaikan salat lagi," katanya sambil memelukku. Aku-pun memeluknya, mencium keningnya sambil berdo'a di dalam hati, "Ya Allah…, ampuni dosa-dosa kami, ampuni dosa-dosa kedua orang- tua kami dan jadikanlah keturunan kami, anak-anak yang sholeh dan sholehah yang ta'at kepada perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu. Aamiin." "Ayah…, Ayah…, kata Ibu Guru, di surga itu ada Bidadari ya?" "Iya, benar." "Apa Bidadari itu cantik, Ayah?" "Sangat cantik. Bahkan kecantikannya tiada tara." "Ayah…, apakah Permata kalau sudah besar nanti akan secantik bidadari?" Aku-pun tersenyum. "Iya…, kalau kamu besar nanti akan secantik Bidadari. Karena kamu, bagi Ayah dan Ibu, adalah Bidadari yang menghiasi rumah ini." Permata-pun tersenyum. Terlihat gigi-giginya yang masih belum rapih. "Tapi Permata, kecantikan wajah itu tidaklah penting, yang terpenting adalah kecantikan hati, disini…, dihati," kataku menambahkan sembari menunjuk ke dadanya. "Iya, Ayah…" "Sudah ya…, Ayah keluar dulu. Salam'alaikum sayang." "Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, Ayah," kata Permata sambil mencium tangan kananku. Aku-pun keluar dari kamarnya. Memang.

Terkadang didalam rumah-tangga, apabila ada salah satu orang-
tua yang keras didalam mendidik anak-anaknya, maka harus ada orang- tua yang bersikap lembut sebagai penyeimbangnya. Sehingga nantinya tidak akan menimbulkan suasana rumah-tangga yang memanas, yang berdampak akan adanya tekanan mental yang berlebihan pada anggota keluarga. Kalau bisa, kedua orang-tua haruslah bersikap lembut didalam mendidik anak-anaknya supaya tidak menurunkan sifat-sifat kasar dan pemarah pada anak-anaknya nanti.

Di suatu Minggu pagi. "Ayah…, Permata pamit dulu, ya. Ntar Permata kasih kabar kalau sudah sampai di tempat piknik lewat Hand Phone Ibu, ya Bu ya…" "Iya, iya…," kata istriku. "Aku pamit juga, ya Mas," sembari mencium tangan kananku. Kami-pun saling berangkulan dan memberi salam. "Salam'alaikuuum, " kata mereka berdua. Di hari Minggu ini, sekolahnya Permata mengadakan acara piknik bersama. Mereka berencana pergi ke Bogor untuk mengunjungi Taman Safari dan Kebun Raya Bogor. Seharusnya, Aku-pun harus pergi juga bersama mereka. Namun, Aku sudah memiliki janji yang tidak boleh kuingkari.

Aku sudah janji untuk menemui klien-ku yang membutuhkan
pertolongan untuk dibela di ruang sidang pengadilan . Kasus yang akan kutangani ini cukup serius. Kasus korupsi yang menelan uang triliyunan rupiah. Tapi kali ini, aku harus membela si tertuduh karena si tertuduh telah lebih dahulu meminta tolong kepadaku untuk melawan pengacara-pengacara terkenal yang membela pemerintah. Walaupun mungkin, orang yang akan kubela ini memang benar korupsi, aku harus tetap membelanya sampai berhasil. Aku tahu, membela orang yang salah adalah salah, tetapi aku tidak punya pilihan lain karena aku juga sudah terikat sumpah jabatan sebagai pengacara dimana seorang pengacara harus selalu siap untuk membela semua perkara orang- orang yang meminta pertolongan jasanya. Itu kode etiknya. Semua berkas yang telah kupersiapkan tadi malam telah kutaruh di dalam mobil. Dengan Bismillah, aku-pun berangkat. Baru tiga puluh menit berlalu saat aku masih menikmati kemacetan di jalan raya.

Telepon genggamku berbunyi. "Selamat pagi, Pak. Apa benar Bapak yang bernama Muhammad Yusuf?" "Benar, Pak. Ini dari siapa, ya?" "Kami dari Kepolisian Satlantas Bogor, Pak. Kami mau mengabarkan berita duka untuk Bapak." "DEGGG!!!" Hatiku tersentak kaget. "Berita duka, Pak? Berita duka apa?" "Sekarang, di jalan tol menuju Bogor sedang terjadi kecelakaan beruntun, Pak.

Setelah kami melakukan pemeriksaan terhadap para
korban. Teridentifikasi bahwa ada keluarga Bapak, yaitu istri dan anak Bapak yang menjadi korban kecelakaan. Sekarang mereka telah dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati dan kini berada di ruang gawat darurat. Mungkin cuma itu yang bisa kami kabarkan kepada Bapak." "Innalillahi wa inna Ilaihi roji'un. Allahu Akbar! Istri dan anakku dalam keadaan kritis. Kendaraan mereka mengalami kecelakaan. Ya Allah…, masih adakah harapan untuk mereka?" kataku membatin. Cepat aku membanting setir untuk mencari jalan pintas menuju ke Rumah Sakit Fatmawati. Tidak kuhiraukan lagi semua rambu-rambu lalu-lintas. Kunyalakan lampu depan mobil yang menandakan aku dalam keadaan terdesak waktu. Sesampainya di Rumah Sakit Fatmawati. Setelah kutanya lewat bagian informasi dimana pasien yang baru datang akibat kecelakaan di jalan tol dengan nama istri dan anakku. Mereka menunjuk ke kamar darurat. Kularikan kakiku dengan cepat untuk sampai disana. Setelah kubuka pintu ruang darurat itu. Ramai sekali para dokter yang menangani para korban. Namun, aku masih belum boleh masuk dan diminta untuk menunggu di ruang tunggu.

"Ya Allah… Selamatkah istri dan anakku? Bagaimanakah keadaan mereka?" dalam keadaan tidak menentu, aku mencoba menghubungi para keluargaku untuk memberitahu hal ini serta memberitahu pegawaiku untuk menemui klienku dan memberitahu bahwa aku berhalangan datang kesana. "Bapak Muhammad Yusuf!" panggil salah satu dokter. "Ya, saya Dok." "Mari ikuti saya, Pak." Dibawanya aku ke suatu ruangan dokter. "Silahkan duduk, Pak." "Dokter, bagaimana istri dan anak saya? Bagaimana keadaannya?" kataku cemas. "Hhhmmm…" Dokter itu menarik dan menghembuskan nafasnya dalam- dalam. "Pertama-tama. .., saya ingin mengucapkan ma'af kepada anda karena kami tidak bisa menolong istri anda, sedangkan anak anda sekarang dalam keadaan kritis. Kondisinya sekarang koma, banyak bagian tubuhnya yang remuk dan patah. Untuk saat ini, kami belum bisa berbuat apa-apa, hanya menunggu perkembangan selanjutnya dari anak anda." "Ya Allah… Allahu Akbar! Inna lillahi wa inna Ilaihi roji'un. Telah Engkau ambil istriku dari sisiku. Dan sekarang, anakku dalam keadaan kritis." Tidak bisa kubayangkan apa yang telah terjadi.

Tubuhku sudah merasa
lemas semua. Keringat dingin bercucuran bak mata air. Mataku sedikit berkunang-kunang. Tapi aku masih sadar. Dengan jalan yang bergontai, aku menuju ke ruang jenazah. Fikiranku sedikit mengambang. Tapi aku berusaha untuk terus sadar. Sesampainya di kamar jenazah. Kulihat jasad-jasad kaku terbujur di tempat tidur ditutupi kain berwarna putih. Suara tangisan dari keluarga yang lain seperti mau membelah bumi. Kucari istriku. Pas di pojok dinding, kulihat wajah yang tidak asing lagi.

Wajah yang dulu
penuh cinta kepadaku. Wajah yang dulu selalu tersenyum kepadaku. Wajah yang dulu penuh rasa sabar mendampingiku disaat susah. Wajah yang dulu pernah bersamaku, berjanji menjalin ikatan suci di pelaminan. Wajah itu, wajah istriku. Kudatangi perlahan jasadnya. Kupandangi wajahnya. "Ohhh…, aku tak sanggup. Hatiku menjerit. Tangisanku mau meledak. Tapi kalau saja aku tidak ingat sama Tuhan. Aku pasti sudah bergabung dengan orang-orang yang meratapi kepergian keluarganya itu. Aku berusaha tersenyum melihat wajah istriku. Kusapa ia dengan salam. Kuucapkan do'a untuknya supaya ia mendapat ampunan dari Allah swt dan tempat yang layak di sisi-Nya. Setelah itu kukecup keningnya. Kututupi wajahnya dengan kain putih. Sekali lagi. Ku berdo'a untuknya. Kembali aku menuju ke ruangan gawat darurat. Saat menuju kesana. Datang serombongan keluargaku dan keluarga istriku. Mereka memelukku satu persatu. Mencium pipi dan keningku dan berusaha menghiburku. Sebagian dari keluargaku dan keluarga istriku menangis. Langsung saja aku menunjukkan dimana jasad istriku berada. Sebagian kesana dan sebagian lagi ikut denganku ke ruang gawat darurat, dimana Permata berada.

Sampai sore hari, Permata belum boleh dikunjungi. Baru setelah malam harinya, kami boleh masuk ke kamarnya dirawat. "Permata sayang, ini Ayah. Permata sayang, ma'afkan Ayah, Nak. Ma'afkan Ayah…" kataku lirih dan tidak dapat meneruskan kata-kata. Yang kubisa hanya membelai lembut kepalanya yang sudah dicukur botak karena ada jahitan di kepalanya. Pas jam sepuluh malam. "Aayaaahhh…" suara Permata pelan. Kami yang sudah duduk di kursi langsung berhamburan menghampiri Permata. "Iya, sayang. Iya, sayang. Ini Ayah, sayang." "Aayaaahhh… Sakiiitt." "Iya sayang. Ayah tahu. Sabar ya… Insya Allah, Allah akan menyembuhkan Permata." "Aayaaahhh… Ibu mana…?" Ya Allah…, mendengar anakku bertanya tentang Ibunya, aku hanya bisa diam. "Aayaaahhh… Ibu mana…?" "Ibu…, Ibu ada sayang..., tapi sekarang sedang tidak disini." Permata diam. Matanya melirik kesana dan kemari seperti mencari sesuatu. Sesaat, bibirnya bergerak tersenyum. "Ayah… Bidadari itu sudah datang. Mereka melihat kepadaku, Ayah. Wajahnya sangat cantik sekali, Ayah." Aku dan keluargaku bingung. Kami tidak bisa melihat apa-apa. "Sayang…, Bidadarinya mungkin datang untuk mendo'kan Permata. Mereka sangat senang bila Permata sehat," kataku untuk menghiburnya. "Tidak, Ayah. Kata mereka, mereka datang untuk menjemput Permata. Mereka tersenyum pada Permata, Ayah." "Ya Allah…, apakah ini yang dinamakan ajal dengan malaikat mautnya yang akan menjemput anakku? Kalau memang iya, tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali membantunya mengucapkan kalimat tauhid." "Ayah…, Bidadarinya menghampiri Permata. Mereka menjulurkan tangannya, Ayah." "Permata. Bidadarinya mungkin mau mengajak Permata bermain-main ke surga. Kalau begitu, Permata harus siap ya sayang. Mari Ayah bimbing, coba Permata mengucapkan kalimat dua syahadat seperti yang telah Ayah ajarkan. Ash-hadu an laa ilaaha illa Allah… wa ash-hadu anna muhammad rasulullah…" "Ash-hadu an laa… ilaaha illa Allah… wa ash-hadu anna… muhammad rasulullah…" Dengan terbata-bata, akhirnya Permata dapat mengucapkan kalimat tauhid dengan lancar. Tanpa kalimat tauhid yang sempat terucap sebelum mati, sangat mustahil seorang Muslim akan masuk surga. Kalimat tauhid merupakan kuncinya pintu surga. Dan jika seseorang belum juga mengucapkan kalimat tauhid sebelum ajalnya tiba, maka ia dipastikan mati dalam keadaan kafir. Neraka-lah tempatnya. Na'udzubillahi min dzalik. Perlahan…, mata Permata sedikit demi sedikit tertutup. Kulit tubuhnya berangsur-angsur memucat, dingin. Sebuah senyum manis terukir di bibirnya. Wajahnya ceria. Ia telah puas. Puas bertemu dengan Bidadari yang sangat cantik. Bidadari yang selalu diimpikannya untuk bertemu. Semua keluargaku menangis. Hanya aku yang tersenyum. Kuusap wajah Permata dan mentelungkupkan tangannya ke dadanya seperti ia sedang salat. Kuciumi keningnya sekali lagi dan sambil berucap, "Tidurlah dengan tenang, sayang. Temani Ibumu yang sudah menunggu disana. Katakan pada Ibumu. Aku menyayangi kalian berdua. Dan semoga Allah swt, juga mengasihi kalian berdua. Selamat jalan sayang. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un." Kutarik nafas panjang. Semua keluargaku memelukku. Kemudian aku keluar dari kamar itu. Kucari sebuah musholla. Lalu disana aku mengadu kesedihan kepada-Nya.

Besoknya. Kukuburkan jenazah istri dan anakku berdampingan di sebuah
pemakaman khusus untuk keluarga. Saat itu, suasana begitu teduh disana. Pepohonan yang rimbun menambah kesejukan disekitarnya. Terdengar suara burung-burung berkicauan di atas pohon sana. Harumnya bunga melati dan kamboja, menusuk hidung mewangikan sekitar. Setelah acara pemakaman selesai.

Kini yang tinggal disitu hanyalah
Aku. Kupandangi dua makam yang berisi orang yang sangat kusayangi. Sekali lagi, kubacakan do'a-do'a untuk mereka berdua sambil melihat ke sebidang ruang tanah lagi di samping makam mereka berdua…, dimana itu nanti…, adalah tempatku kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan pendapat kalian tentang artikel ini...