Kamis, 20 Mei 2010

Nasi, Garam Dan Minyak Jelantah


Siang hari yang panas menjelang zuhur, saya masih bermadikan keringat sehabis mengikuti "aksi" menolak kedatangan BUSH yang berakhir di Bundaran masjid Agung. Karena begitu dahaga, saya dan beberapa orang teman, kemudian mencari penjual minuman dan makanan kecil yang banyak di sekitar masjid megah itu.

Setelah puas menghilangkan dahaga, saya dan beberapa orang teman kemudian sedikit kebingungan untuk membuang limbah plastik, sisa minuman dan makanan. Akhirnya kami pun mendapatkan akal untuk membuangnya di sela-sela pagar yang mengitari masjid itu. Ketika hendak beranjak meninggalkan tempat kami nongkrong tadi, tiba-tiba datang seorang laki-laki bertubuh legam dan berpakaian lusuh mengambil plastik, yang masih berisi es dan cuka empek-empek yang telah kami buang. Dan mau tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Saya melihatnya, laki-laki itu meminum es yang masih tersisa di plastik yang telah saya buang. Setelah puas, kemudian ia kembali mengambil plastik yang masih berisi cuka empek-empek. Dan menghirupnya sampai habis. Kemudian membuang plastiknya dan meninggalkan saya dan teman-teman yang masih tertegun menyaksikan kejadian yang hanya berlalu beberapa detik itu.

Sesampai di rumah menjelang magrib, saya kembali teringat kejadian siang tadi. Hati saya miris menangis dan merasa begitu bodoh dan tersindir. Selama ini saya jarang bersimpati kepada pengamen di bus-bus yang bobrok atau pengemis-pengemis yang banyak berjajar di jembatan-jembatan penyeberangan. Toh saya pikir mereka hanya manusia-manusia pemalas yang hanya menggantungkan hidupnya dari belas kasihan orang lain. Namun, saya tidak pernah berpikir serius, ternyata kehidupan begitu keras, hingga membuat banyak orang yang kelaparan dan makan dengan mengais-ngais sisa makanan orang lain yang telah dianggap sampah.

Tiba-tiba ingatan saya, tertuju pada kejadian belasan tahun yang lalu. Waktu itu saya masih bocah ingusan yang baru duduk di sekolah dasar. Salah satu teman bermain saya, sebut saja namanya Ita pernah bertanya kepada saya.

“Eh, kamu kalo makan, senengnya pake lauk apa,” tanyanya.

Sayapun kemudian menjawabnya dengan bercerita dengan panjang lebar. Dengan bangga saya mengatakan kepadanya, bahwa tiap hari saya makan dengan lauk pauk yang serba mewah, tentu dengan dibumbui kebohongan di sana-sini, dengan tujuan agar dia merasa iri. Namun di luar dugaan saya, dia hanya tersenyum tipis dan kemudian berkata kepada saya.

“Oh, kalo aku di rumah, paling seneng makan nasi sama garam dan minyak jelantah,” ujarnya bangga.

Mendengar semangatnya ia bercerita tentang makanan favoritnya itu, membuat saya mersa iri. Hingga pada suatu kesempatan ketika saya bertandang kerumahnya yang sempit dan berlantai tanah, sayapun memintanya untuk menunjukkan makanan favoritnya itu. Sesampainya dirumahnya, teman saya itupun menunjukkan makana favoritnya itu, dan akhirnya terjawablah sudah pertanyaan saya bagaimana bentuk si minyak jelantah itu. Minyak sisa menggoreng yang warnanya sudah menghitam, mungkin karena seringnya digunakan untuk menggoreng. Kemudian ia mencampurnya dengan garam dan menuangkannya di atas nasi putih, untuk kemudian memakannya dengan lahap. Begitu irinya saya melihat dia melahap makanan favoritnya itu, hingga saya pun buru-buru pulang ke rumah, tentu karena penasaran dengan rasa makanan favoritnya itu.

Sesampai dirumah, mulailah saya mencari “sang minyak jelantah” di atas penggorengan yang warnanya tidak sehitam ketika saya lihat di rumah Ita teman saya. Kemudian mencampurnya dengan garam, dan menyiramkannya di atas sepiring nasi putih yang telah saya siapkan. Satu suapan masuk kemulut saya. Alhasil sayapun muntah.

Saat itu yang ada dipikiran kecil saya, adalah perasaan iri kepada teman saya Ita. Mengapa dia begitu menikmati makanan favoritnya itu, sedangkan saya malah memuntahkannya. Apakah ada yang salah denagn lidah saya? Menjelang dewasa, sayapun mengerti dengan sendirinya. Ya, sang Ita mungkin telah terbiasa dengan nasi, garam, dan minyak jelantahnya. Hingga yang ada di lidahnya, bukan lagi enak, tahu tidak enaknya ketika makanan itu masuk kemulutnya, tetapi lebih kepada kebutuhan perut yang tidak bias menimbang untuk memilih makan yang masuk kedalamnya. Seperti juga dengan lelaki lusuh yang saya temui di dekat masjid Agung itu. Mengapa lelaki itu tidak mersa jijik ketika memakan sampah sisa makanan orang lain.

Saya memang bukan seorang anak konglomerat yang memiliki perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Tetapi bukan juga sang Ita yang makan dengan nasi, garam dan minyak jelantah. Cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan asupan gizi yang lumayan. Ketika saya begitu nelangsa, karena uang kiriman dari orang tua, tidak sebanyak yang diterima oleh teman saya yang memiliki laptop dan kamera digital. Saya mencoba untuk mencambuk hati saya dengan mengenang ita teman kecil saya. Ketika saya merasa begitu miskin karena tidak semua keinginan saya bisa semuanya terwujud. Saya mencoba untuk lebih banyak melihat ke bawah. Pengamen-pengamen cilik dengan pakaian kumal dan kericikan lusuhnya. Mbah-mbah di pasar tradisional yang menjual sayuran yang sudah layu. Wanita-wanita muda yang usianya mungkin jauh di bawah saya di tempat-tempat pengisian bahan bakar. Gadis kecil yang sering meneriakkan nasi uduk di tempat kos saya yang lama. Bapak penjual empek-empek yang berjalan lebih dari 20 Km. Melihat itu semua, membuat saya merasa begitu kecil. Ternyata selama ini saya baru sadar. Uang ongkos angkot saya pergi dan pulang dari kampus. Makanan-makanan yang saya beli di warung-warung nasi. Cemilan yang menemani malam-malan saya. Pulsa di hp butut saya. Buku-buku yang dengan bangganya saya pamerkan kepada teman-teman saya. Fotokopian tugas kuliah saya. Ternyata semua itu berasal dari kiriman orang tua saya setiap bulan. Dan bentuk belas kasihan dari sang Maha Pemberi kepada diri saya yang hina dan kikir untuk berinfak walau hanya seribu, dua rupiah. Dan semua itu membuat saya malu, sungguh. Wallahu’alam.


Sumber  : eramuslim.com
Penulis   : Dian Sianturi



desaint