Selasa, 01 September 2009

Kenanglah Saat-Saat Indah Bersama Orang Tua


Di ruas jalan H Mulyadi Joyo Martono No 19, Bekasi Timur, berdiri beberapa gedung milik Departemen Sosial. Sekilas nampak tertata rapi dan bersih. Bangunan itu didominasi warna kuning layu. Entah mengapa, warna itu seakan menggambarkan sebuah usia, bukan usia bangunan itu, tapi usia para penghuninya yang kebanyakan sudah tua. Ya, itu bangunan panti Tan Miyat, tempat para jompo dan tuna netra mengisi hari-hari mereka.

Tetapi sebuah panti jompo tak sekedar labuhan hidup di penghujung usia. Meski kematian tetaplah gelap. Panti itu dan juga panti-panti yang lain, sesungguhnya adalah muara bagi berjuta kenangan. Tentang masa lalu yang mulanya liniar, tertib dan bertabur senyum. Tetapi tiba-tiba turun dan menghujam tajam. Atau kenangan tentang pahitnya kehilangan orang-orang terdekat, anak-anak yang tak bisa lagi menerima orang tua mereka yang renta dan tak punya tenaga. Disini seringkali kenangan pahit jauh lebih mengacaukan pikiran ketimbang rasa sakit fisik akibat termakan usia.

Pada setiap golongan waktu ada kenangannya. Meski tidak selamanya istimewa. Seperti Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, setiap kali ia datang, ada begitu banyak kenangan pada berjuta orang. Pada kita, orang tua kita, anak-anak kita, juga pada seorang Atem, wanita tua di panti Tan Miyat itu.

Sebenarnya saya punya anak. Perempuan, tapi dia nggak mau mengakui saya sebagai ibunya. Saya nggak tahu dia dimana sekarang, tuturnya lirih. Pandangannya menerawang. Matanya mulai berkaca-kaca. Perempuan asal Cikampek, Jawa Barat, yang biasa dipanggil Bu Atem itu mengisahkan, bahwa anak perempuannya itu telah bersuami dan punya tiga orang anak. Ia merasa dirinya dibiarkan pontang-panting, dari satu tempat berteduh ke tempat yang lain. Tak dipedulikan pula apakah ibunya makan atau tidak,kehujanan atau kepanasan, sehat atau sakit bahkan tidak peduli apakah sekarang masih hidup. Nggak pernah dia itu cari saya ada dimana, dia nggak tahu saya disini. Boro-boro nengok, tahu aja enggak, ungkapnya datar seraya melempar pandangan ke pintu kamar yang terbuka lebar.

Lain halnya dengan Hans Huripno. Usianya 53. Belum terlampau tua, tetapi fisiknya telah renta. Ia punya penyakit aneh. Karena sakit itu pula istrinya kemudian meminta cerai. Dari istrinya itu, ia dikaruniai seorang anak perempuan. Ramadhan yang syahdu, seakan menghamparkan begitu banyak kenangan masa lalunya. Cerita pun mengalir panjang. Selama bekerja saya sudah merambah hampir seluruh bagian wilayah Indonesia. Sebelum sakit, saya pernah menangani desain pabrik Unilever di Cibitung. Saya dulu makan, kerja dijamin perusahaan, kendaraan serba ada. Pulang ke jawa setiap tiga bulan sekali naik pesawat. Makan disediakan, pakaian dicucikan. Makan serba ala Eropa dan menjelang sholat isya saya selalu refreshing pergi ke Sogo, Sarinah dan serendah-rendahnya show room untuk menghilangkan rasa jenuh, kenang Hans.

Ia melanjutkan… Istri saya selalu shopping, serendah-rendahnya ke Matahari. Saya ajak anak dan istri saya rekreasi sampai jauh. Hidup serba enak, apalagi ketika baru datang di suatu pekerjaan awal, kita menginap di hotel dulu minimal dua minggu. Saya dulu pernah merasakan bagaimana rasanya punya mobil sendiri, rumah sendiri. Dan sekarang saya tidak bisa membayangkan harus tinggal di panti. Ya Allah, begini akhirnya hidup saya, mata Hans nampak berkaca-kaca. Suaranya sejenak tertahan. Dua butir air matanya nyaris jatuh bersamaan. Hiks..

Sejak enam bulan di panti itu, ia belum memberitahu anaknya, juga mantan istrinya. Saya ingin menjaga perasaan mereka. Terutama anak saya. Sebab, dulu waktu di Brebes ia juga sudah masuk panti. Tapi anak saya bilang, malu punya orang tua di panti. Ia bilang kepada ibunya supaya tidak cerita-cerita kepada orang lain perihal saya, tambah Hans. Saya tahu perasaan anak saya dan menerima ini semua, walaupun hati ini terasa pedih hibur Hans.

Begitulah, sebagai apa kita hari ini, kenangan-kenangan seperti itu harus memberi kita kesadaran baru, bahwa ada orang-orang yang berjasa terhadap kita. Pada orang tua kita adalah orang-orang terdekat kita, setidaknya secara nasab dan hubungan darah. Bila mereka tidak terlalu berjasa secara materi, setidaknya karena mereka kita ada. Itu bahkan jasa persambungan yang paling prinsipil.

Menjadi anak-anak atau orang tua hanyalah soal pergiliran peran. Bila waktu memadai, ada jatah umur dan takdir berjodoh dengan ikhtiar atau ikhtiar berjodoh dengan takdir, setiap kita toh akan tua juga. Dan itu artinya, kerinduan orang-orang tua kita hari ini, kepada bakti dan balas budi kita, adalah juga kerinduan kita kelak kepada hal serupa kepada anak-anak kita. Maka, kenang, kenanglah orang tua kita. Sebut, sebutlah mereka dalam do'a dan munajat kita. Toh, kelak kita juga akan menjadi tua, bila takdir membawa kita kesana.


Sumber : unknown

Senin, 22 Juni 2009

Akankah Kita Juga Melupakannya...?

Suatu hari, di halaman sebuah rumah...

Dua orang pemuda terlihat asyik ber-cakap2. Sepiring makanan ringan menemani mereka siang itu.

Wajah mereka tampak cerah. Mereka sedang membicarakan tentang sebuah buku yang berjudul : 'Loyalitas Seorang Muslim'.

Tak berapa lama, arah pembicaraan mereka beralih kepada masalah Al Quran.

Dan beberapa saat kemudian, wajah dari salah seorang pemuda itu terlihat berubah murung.

Melihat itu, temannya bertanya: 'Ada apa? Mengapa kamu jadi murung?'

Pemuda yang murung itu menghela nafas yang terasa berat lalu menjawab: 'Aku telah kehilangan lebih dari 5 juz hafalan Al Quran ku.'

'Ya, lebih dari 5 juz. Padahal dulu aku sudah menghafal 6 juz dari Al Quran dan sekarang,.. bahkan membaca surat An Naazi'at pun terasa sulit. '

Pemuda itu lalu berkata lagi kepada temannya:
'Kamu tahu bukan bahwa aku mempunyai setumpuk koleksi buku2, baik tentang ke-Islaman, tentang motivasi2 maupun yang ilmiah. Semuanya adalah bacaanku sehari-hari. Bahkan aku hafal sebagian besar isinya. Tapi ternyata, semua itu malah membuat aku melupakan bacaan wajibku..kitab rabb ku..Al Quran...astaghfirullah.'

Setelah terdiam sejenak, pemuda itu meneruskan ceritanya:
'Aku tidak pernah lagi berusaha menjaga hafalanku apalagi menambahnya. Dan aku juga tidak pernah lagi mencoba untuk memahami makna ataupun tafsir dari ayat2 Al Quran lagi. Se-akan2 memahami dan menyelami isi dari buku2 itu lebih mengasyikan dan lebih penting daripada Al Quran. 5 juz adalah tidak sedikit, teman.
Ya Allah, kemanakah hari2 ketika aku berusaha menghafal dan memahami kitab-Mu ini? Apakah semuanya telah hilang bersama dengan hilangnya Al Quran dari dada ini?'

Mata pemuda itu tampak berkaca-kaca. Sedangkan temannya hanya diam.
Diam karena teringat bahwa dia juga telah kehilangan 1 juz hafalan Al Quran berikut terjemahnya.



Sumber : unknown



desaint

Rabu, 10 Juni 2009

Selamat jalan Bidadari Surga

Namanya "Aini, begitu ummi biasa memanggilnya. Salah satu "adik" terbaik yang pernah ummi miliki, yang pernah ummi temui dan alhamdulillah Allah pertemukan ummi dengannya.

Seharusnya 28 Januari lalu genap ia menginjak usia 37 tahun. Beberapa tahun bersamanya, banyak contoh yang bisa ummi ambil darinya. Kedewasaan sikap, keshabaran, keistiqomahan, dan pengabdian yang luar biasa meretas jalan da'wah ini. Seorang muharrik da'wah yang tangguh dan tak pernah menyerah. Sosok yang tidak pernah mengeluh, tidak pernah putus asa dan memiliki khusnuzon yang teramat tinggi kepada Allah. Dan dia adalah salah satu amanah ummi terberat, ketika memang harusnya ia sudah memasuki sebuah jenjang pernikahan.

Ketika beberapa akhwat lain yang lebih muda usianya melenggang dengan mudahnya menuju jenjang tersebut, maka 'Aini Allah taqdirkan harus terus meretas keshabaran. Beberapa kali ummi berikhtiar membantunya menemukan ikhwan shalih, tetapi ketika sudah memulai setengah perjalanan proses, Allah pun berkehendak lain. Namun begitu, tidak pernah ada protes yang keluar dari lisannya, tidak juga ada keluh kesah, atau bahkan mempertanyakan kenapa sang ikhwan begitu "lemahnya" hingga tidak mampu menerjang berbagai penghalang. Atau ketika masalah fisik, suku, serta terlebih usia yang selalu menjadi kendala utama seorang ikhwan mengundurkan diri, 'Aini pun tidak pernah mempertanyakan atau memprotes "kenapa ikhwan sekarang seperti ini ?"

Tidak ada gurat sesal, kecewa, atau sedih pada raut muka ataupun tutur katanya. Kepasrahan dan keyakinan terhadap kehendak Allah begitu indah terlukis dalam dirinya.

Hingga, akhirnya seorang ikhwan shalih yang dengan kebaikan akhlak serta ilmunya, datang dan berkenan untuk menjadikannya seorang pendamping. Tidak ada luapan euphoria kebahagiaan yang ia tampakkan selain ucapan singkat yang penuh makna "Alhamdulillah... jazakillah ummi sudah membantu... mohon do'a agar diridhai Allah"

Alhamdulillah, Allah mudahkan proses ta'arauf serta khitbah mereka, tanpa ada kendala apapun seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Padahal ikhwan shalih yang Allah pilihkan tersebut berusia 10 tahun lebih muda dari usianya.

Berkomitmen pada sunnah Rasulullah untuk menyegerakan sebuah pernikahan, maka rencana akad pun direncanakan 1 bulan kemudian, bertepatan dengan selesainya adik sang ikhwan menyelesaikan studi di negeri Mesir.

Namun, Allah lah Maha Sebaik-baik Pembuat keputusan..

2 minggu menjelang hari pernikahan, sebuah kabar duka pun datang. Usai 'Aini mengisi sebuah ta'lim, motor yang dikendarainya terserempet sebuah mobil, dan menabrak kontainer didepannya. 'Aini shalihah pun harus meregang nyawa di ruang ICU. 2 hari setelah peristiwa itu, Rumah sakit yang menanganinya pun menyatakan menyerah. Tidak sanggup berbuat banyak karena kondisinya yang begitu parah.

Hanya iringan dzikir disela-sela isak tangis kami yang berada disana. Semua keluarga 'Aini juga sang ikhwan pun sudah berkumpul. Mencoba menata hati bersama untuk pasrah dan bersiap menerima apapun ketentuanNya. Kami hanya terus berdo'a agar Allah berikan yang terbaik dan terindah untuknya. Hingga sesaat, Allah mengijinkan 'Aini tersadar dan menggerakkan jemarinya. Rabb.. sebait harapan pun kembali kami rajut agar Allah berkenan memberikan kesembuhan, walau harapan itu terus menipis seiring kondisinya yang semakin melemah. Hingga kemudian sang ikhwan pun mengajukan sebuah permintaan kepada keluarga 'Aini.

"Ijinkan saya untuk membantunya menggenapkan setengah Dien ini. Jika Allah berkehendak memanggilnya, maka ia datang menghadap Allah dalam keadaan sudah melaksanakan sunnah Rasulullah..."

Permintaan yang membuat kami semua tertegun. Yakinkah dia dengan keputusannya ?

Dalam kedaaan demikian, akhirnya 2 keluarga besar itupun sepakat memenuhi permintaan sang ikhwan.

Sang bunda pun membisikkan rencana tersebut di telinga 'Aini. Dan baru kali itulah ummi melihat aliran airmata mengalir dari sepasang mata jernihnya.

Tepat pukul 16.00, dihadiri seorang penghulu,orangtua dari 2 pihak, serta beberapa sahabat dan dokter serta perawat... pernikahan yang penuh tangis duka itupun dilaksanakan. Tidak seperti pernikahan lazimnya yang diiringi tangis kebahagiaan, maka pernikahan tersebut penuh dengan rasa yang sangat sulit terlukiskan. Khidmat, sepi namun penuh isakan tangis kesedihan.

Tepat setelah ijab kabul terucap... sang ikhwan pun mencium kening 'Aini serta membacakan do'a diatas kain perban putih yang sudah berganti warna menjadi merah penuh darah yang menutupi hampir seluruh kepala A'ini. Lirih, kami pun masih mendengar 'Aini berucap, "Tolong Ikhlaskan saya....."

Hanya 5 menit. Ya..hanya 5 menit setelah ijab kabul itu. Tangisanpun memecah ruangan yang tadinya senyap menahan sesak dan airmata. Akhirnya Allah menjemputnya dalam keadaan tenang dan senyum indah.

Dia telah menjemput seorang bidadari...

Sungguh indah karunia dan janji yang telah Allah berikan padanya...

Dia memang hanya pantas untuk para mujahidNya di Jannah al firdausi....

Dan sang ikhwan pun melepas dengan penuh sukacita dengan iringan tetes airmata yang tidak kuasa ditahannya...

" ..Saya telah menikahi seorang bidadari... nikmat mana lagi yang saya dustakan..."

Begitulah sang ikhwan shalih mengutip ayat Ar RahmanNya...

Ya Rabb.. Engkau sebaik-baik pembuat skenario kehidupan hambaMu.. Maka jadikanlah kami senantiasa dapat mengambil hikmah dari setiap episode kehidupan yang Engkau berikan....

Selamat jalan adikku sayang ... engkau memang bidadari surga yang Allah tidak berkenan seorang ikhwan pun didunia ini yang bisa mendampingi kehidupanmu kecuali para ikhwan shalih yang berkhidmat di jalan da'wah dengan ikhlas, tawadhu dan siap berjihad dijalanNya dan kelak menutup mata sebagai seorang syuhada...."

Selamat jalan 'Aini..semoga Allah memberimu tempat terindah di surgaNya....

(bait kenangan terakhir bersamamu; ummi tidak bisa menulis seindah tulisan2mu, tapi yakinlah ummi mengiringimu dengan indahnya do'a ... semoga Allah kumpulkan kita kelak didalam surgaNya...amiin)



Sumber : unknown


desaint